Tentang Rasa I

Tentang rasa 


“Sebagaimana gelas ini, ia pernah menjadi benda yang amat indah sebelum akhirnya ia pecah. Dia juga pernah menjadi benda yang utuh sebelum akhirnya terjatuh. Seperti hati seseorang yang tengah kecewa, ia pernah bahagia sebelum akhirnya terluka.”

“Bagaimana engkau dihargai jika kau sendiri tak mau menghargai apa yang diupayakan orang lain.”

“Apakah perjuangan itu bak memasak nasi di atas kayu bakar? Engkau menunggu apinya supaya ia tak menjadi padam atau menjadi besar. Engkau selalu mengatur keadaannya agar nasinya tidak mentah atau menjadi gosong. Bahkan engkau juga meniupnya sampai wajahmu menjadi panas dan abunya pun mengenai matamu. Bahkan air matamu sampai-sampai keluar. Apa yang engkau pikirkan adalah bagaimana nasi itu bisa menjadi matang secara sempurna dan nantinya bisa dinikmati bersama. Itulah perjuangan yang sebenarnya. Apapun akan dilakukan agar semua menjadi indah pada waktunya.”

“Apakah menunggu itu bak mendaki gunung? Meski engkau tahu rasanya akan sangat lelah, terlebih bagian punggung dan juga kaki. Akan tetapi, saat engkau mencapai puncak, seketika rasa sakit tersebut akan hilang. Dan jika perlu engkau akan mendaki di medan yang lebih ekstrem lagi untuk mendapatkan puncak yang lebih indah.”

“Ku ucapkan selamat pagi untukmu yang jauh dimata namun dekat di hati. Bayanganmu bak mentari hangat yang mencoba menyusup ke sanubari. Entahlah kekasih, aku telah menelanmu selama ribuan detik namun senyum manismu seperti candu yang menyiksaku dengan rasa rindu.”

“Menunggu, seandainya itu adalah sebuah perlombaan aku memiliki hak untuk memperoleh banyak medali.”

“Ada yang membahas rindu, tidak pernah mengukur berapa jarak namun senantiasa memanjatkan doa agar bisa bertemu dan dalam diam Tuhan akan mencatat sebagai doa yang dikabulkan suatu hari nanti.”

“Aku ibarat menanti senja yang berada di ujung petang. Dengan berdiam diri hanya memeluk bayangan. Petang pun mulai meremang namun senja yang kunanti tak juga datang.”

“Engkau sama sekali tidak perlu susah payah. Engkau adalah satu-satunya di mataku dan sejauh apapun aku terbang, aku akan tetap kembali kepadamu.”

“Masa laluku, aku bisa saja berbahagia di dalam keramaian. Aku juga mampu tersenyum dalam sepi. Namun dimana engkau sekarang? Ini tidak seperti biasanya.”

“Bukankan untuk dapat mencapai tujukan diperlukan kepastian? Tidak hanya menggantungkan di sebuah pengharapan.”

“Tidak mudah untuk mengubur berjuta kenangan yang telah ada dan terajut bersamamu. Dan hati ini hanya bisa mengeluh dalam sepi, bahwa sungguh tak mudah untuk melepaskanmu pergi ke hati yang lain.”

“Jangan pernah mendekat jika tidak akan tekat dalam keseriusan menjalin suatu hubungan. Karena jika akhirnya kamu ternyata berpaling untuk ke sekian kalinya. Tentu akan ada hati yang nantinya terluka.”

“Jika aku ditanya tentang hal terberat dalam hidupku, itu adalah melupakanmu. Hati ini sudah terlanjur menaruh hati. Dan tidak bisa dipaksa tiba-tiba berhenti bak membalikkan telapak tangan.”

“Hati ini adalah daratan yang pernah kau singgahi. Saat di suatu hari engkau mencari tempat untuk berteduh, aku hadir untuk bisa menjadi tempatmu berlabuh. Namun tidak demikian denganmu yang memilih untuk pergi setelah semua ku berikan.”

“Cinta memang menjadi sebuah hal yang banyak dicari oleh manusia. Namun, cinta juga yang ternyata banyak memberi luka. Maka jangan pernah berani mencintai apabila engkau tidak siap untuk sakit hati. Sebagaimana aku dahulu yang tak pernah membayangkan akan sakit hati. Dan kini aku hanya bisa berdiam diri dengan semua rasa yang telah beku ini.”

“Aku harus bangkit dari berbagai keterpurukan atas rasa ini. Semua adalah konsekuensi atas luka yang aku buat sendiri. Dan kini saatnya untuk membuka lembaran baru. Menjadikan diri sendiri sebagai sesuatu yang paling berharga untuk mendapatkan sesuatu yang terbaik di kemudian hari.”

“Terkadang kita memang harus merelakan sesuatu yang mungkin tidak diperuntukkan untuk kita. Dan yakinlah bahwa suatu saat akan mendapatkan yang terbaik.”

“Engkau pergi tanpa sepatah kata kepadaku. Menyisakan luka yang sangat mendalam di hati ini. Kenangan yang pernah ada pun tetap tertanam dalam diri. Dan berharap akan segera sembuh dan bangkit kembali.”

“Awalnya, dia hadir sebagai mentari. Namun kini mentari tersebut justru menyiksa hari-hariku dengan sengatnya yang begitu menyayat. Engkau menghianati diri yang sangat tulus dan setia ini. Sedangkan engkau adalah satu-satunya dambaan diri.”

“Mencintaimu akan menjadi kenangan paling nyata dalam hidup ini. Walaupun cinta yang kupersembahkan harus berakhir dengan penghianatan, namun aku sangat bahagia karena sudah pernah memilikimu.”

“Ada yang terasa hilang saat engkau tak ada. Kenyamanan, kebahagiaan, dan semuanya terasa kurang. Namun, lagi-lagi aku harus merelakan semuanya.”

“Merelakan memang menjadi hal yang sangat berat dalam hidup ini. Namun itu akan membuatmu merasakan manisnya ikhlas dan berjuang. Yang nantinya akan berujung kebahagiaan diri. Kehilangan orang yang kita sayang memang membuat perih, namun akan lebih perih lagi jika kita tahu dia tidak mencintai kita sama sekali.”

“Mengapa engkau dulu mendekatiku, jika pada akhirnya hubungan kita berujung pilu. Tulusnya cintaku kau balas dengan penghiatan darimu. Itu membuat hidupku terasa amat perih. Dan kau sama sekali tak memikirkan posisiku.”

“Membenci orang yang telah menyakiti hanya akan membuat hati terasa sempit dan semakin menderita. Jalan terbaiknya adalah dengan memaafkan.”

“Engkau pergi di saat aku sangat yakin untuk tetap bersamamu. Engkau pergi saat aku merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini. Namun, apalah daya bahwa intinya engkau sudah tak lagi di sisi diri ini. Dan hanya satu kata yang bisa dijalani, ikhlas akan semua yang terjadi.”

“Cinta ibarat bunga yang di dalamnya ada keindahan dan juga kesakitan. Indah karena wangi dan warna bunganya, kesakitan karena ada duri yang siap menusuk. Itulah cinta. Sebuah penderitaan yang dicari oleh semua manusia.”

Comments

Popular Posts